HONDA CB 100 tahun 1973 ini sekarang harganya paling murah Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. Padahal, satu tahun lalu dijual paling laku hanya Rp 700.000," tutur Sumardi, seorang pengemudi motor gandeng di Pagar Alam, Sumatera Selatan.
Melambungnya harga sepeda motor yang seharusnya sudah layak pensiun itu terjadi seiring dengan menjamurnya motor gandeng di Pagar Alam. Motor tua seperti Honda CB 100 menjadi pilihan untuk memasang gandengan kabin penumpang.
Kendaraan bermotor roda dua yang umumnya pajaknya sudah tak dibayar tersebut memang menjadi pilihan yang paling masuk akal. Dengan harga yang murah, modal yang dikeluarkan untuk mengoperasikannya bisa ditekan semurah mungkin. "Ditambah biaya pembuatan gandengan Rp 1,5 juta, modal yang kami keluarkan kurang dari Rp 3,5 juta," ungkap Rahmat, pengemudi lainnya.
Tidak hanya motor tahun 1970-an yang harganya terdongkrak setelah menjamurnya motor gandeng. Sepeda motor satu kelas di atasnya, seperti Honda GL tahun 1980-an, juga ikut- ikutan naik. Sepeda motor jenis ini di Pagar Alam sekarang harganya Rp 2,5 juta per unit.
Harga itu tentu saja lebih mahal dibandingkan dengan ketika motor gandeng belum dikenal. Karena harganya yang murah, sepeda motor tua sekarang menjadi pilihan untuk dimodifikasi jadi motor gandeng.
Hitung punya hitung, sepeda motor tua tetap berharga murah karena kebanyakan pajaknya sudah "mati". Meskipun masih memiliki surat- surat (STNK/surat tanda nomor kendaraan), namun sebagian sepeda motor yang dijadikan motor gandeng umumnya sudah habis masa berlakunya.
Bagi pengemudi motor gandeng, yang penting sepeda motor yang digunakan masih jalan dan masih "tokcer" saat dioperasikan. Soal surat- surat yang habis masa berlakunya itu urusan nanti. "Tujuh puluh lima persen dari motor gandeng yang ada di Pagar Alam surat-surat sepeda motornya telah mati," ungkap sejumlah tukang ojek di pangkalan mereka di ujung Jalan Gunung Dempo.
Biarpun tanpa surat-surat yang jelas, tetapi para pengemudi motor gandeng itu merasa aman-aman saja beroperasi di jalan. Tentu saja mereka tidak mau berurusan dengan polisi. Karena itu, pengertian terhadap kondisi seperti itu dari aparat hukum selama ini telah ikut membantu mereka sehingga tetap bisa beroperasi untuk mencari dan mengangkut penumpang.
Dengan modal tidak terlalu besar itulah sebagian warga Pagar Alam mendapatkan pekerjaan mereka. Dengan motor gandeng mereka bisa mendapatkan sumber nafkah untuk hidup keluarga masing-masing.
Adanya lapangan kerja baru tersebut juga telah mendorong warga lain yang sudah memiliki pekerjaan untuk beralih profesi. Indra, misalnya, sejak enam bulan lalu banting setir dari pedagang sayuran keliling menjadi pengemudi motor gandeng.
Dia menggunakan sepeda motor Honda GL tahun 1980 yang dibelinya seharga Rp 2,5 juta. Dengan modal tambahan pembuatan kabin penumpang Rp 1,5 juta, Indra pun kini bisa melaju di kota kelahirannya untuk mencari penumpang.
"Penghasilannya lumayan. Dalam satu hari rata-rata saya mendapat penghasilan bersih Rp 25.000," kata Indra ketika ditemui di sebuah bengkel. Saat itu Indra tengah memasang variasi di kabin penumpang gandengnya agar penampilannya terlihat lebih menarik.
Penghasilan yang baik dengan nominal berbeda juga dikemukakan oleh sejumlah pengemudi motor gandeng yang biasa mangkal di ujung Jalan Gunung Dempo. Menurut mereka, penghasilan dari mengemudi motor gandeng jauh lebih baik dibandingkan hasil dari pekerjaan sebelumnya.
Seperti Sumardi, sebelumnya dia penarik becak dengan penghasilan rata-rata kurang dari Rp 25.000 per hari. "Enak narik motor gandeng, dapat uangnya lebih banyak dan tidak secapek narik becak," ungkapnya.
MOTOR gandeng terus melaju di jalan-jalan Pagar Alam. Perpaduan sepeda motor tua dan kabin penumpang yang dibuat di beberapa bengkel di kota itu telah melahirkan angkutan rakyat jenis baru yang murah meriah.
Soal kelaikan kendaraan, itu pun masalah nanti. Bagi para pengemudi, motor gandeng telah menjadi sumber nafkah menjanjikan yang bisa menopang hidup keluarga mereka. Sementara bagi penumpang, angkutan umum ini jauh lebih bermartabat.
Dibandingkan dengan ojek sepeda motor, motor gandeng tentu lebih nyaman ditumpangi. Penumpang pun tidak perlu bersentuhan fisik dengan tukang ojek dan mencium bau keringatnya. Kenyamanan naik motor gandeng juga lebih terasa saat panas terik atau hujan. Kabin penumpang menyelamatkan penumpang dari siksaan yang bakal muncul jika naik ojek sepeda motor.
Motor gandeng, motor becak, atau apa pun namanya, paling tidak telah mampu menjawab kebutuhan rakyat terhadap angkutan umum murah. Lapangan kerja baru juga tercipta. Bahkan, sepeda motor-sepeda motor tua yang seharusnya sudah masuk museum menjadi lebih berharga lagi di pasaran. (MUL)
Melambungnya harga sepeda motor yang seharusnya sudah layak pensiun itu terjadi seiring dengan menjamurnya motor gandeng di Pagar Alam. Motor tua seperti Honda CB 100 menjadi pilihan untuk memasang gandengan kabin penumpang.
Kendaraan bermotor roda dua yang umumnya pajaknya sudah tak dibayar tersebut memang menjadi pilihan yang paling masuk akal. Dengan harga yang murah, modal yang dikeluarkan untuk mengoperasikannya bisa ditekan semurah mungkin. "Ditambah biaya pembuatan gandengan Rp 1,5 juta, modal yang kami keluarkan kurang dari Rp 3,5 juta," ungkap Rahmat, pengemudi lainnya.
Tidak hanya motor tahun 1970-an yang harganya terdongkrak setelah menjamurnya motor gandeng. Sepeda motor satu kelas di atasnya, seperti Honda GL tahun 1980-an, juga ikut- ikutan naik. Sepeda motor jenis ini di Pagar Alam sekarang harganya Rp 2,5 juta per unit.
Harga itu tentu saja lebih mahal dibandingkan dengan ketika motor gandeng belum dikenal. Karena harganya yang murah, sepeda motor tua sekarang menjadi pilihan untuk dimodifikasi jadi motor gandeng.
Hitung punya hitung, sepeda motor tua tetap berharga murah karena kebanyakan pajaknya sudah "mati". Meskipun masih memiliki surat- surat (STNK/surat tanda nomor kendaraan), namun sebagian sepeda motor yang dijadikan motor gandeng umumnya sudah habis masa berlakunya.
Bagi pengemudi motor gandeng, yang penting sepeda motor yang digunakan masih jalan dan masih "tokcer" saat dioperasikan. Soal surat- surat yang habis masa berlakunya itu urusan nanti. "Tujuh puluh lima persen dari motor gandeng yang ada di Pagar Alam surat-surat sepeda motornya telah mati," ungkap sejumlah tukang ojek di pangkalan mereka di ujung Jalan Gunung Dempo.
Biarpun tanpa surat-surat yang jelas, tetapi para pengemudi motor gandeng itu merasa aman-aman saja beroperasi di jalan. Tentu saja mereka tidak mau berurusan dengan polisi. Karena itu, pengertian terhadap kondisi seperti itu dari aparat hukum selama ini telah ikut membantu mereka sehingga tetap bisa beroperasi untuk mencari dan mengangkut penumpang.
Dengan modal tidak terlalu besar itulah sebagian warga Pagar Alam mendapatkan pekerjaan mereka. Dengan motor gandeng mereka bisa mendapatkan sumber nafkah untuk hidup keluarga masing-masing.
Adanya lapangan kerja baru tersebut juga telah mendorong warga lain yang sudah memiliki pekerjaan untuk beralih profesi. Indra, misalnya, sejak enam bulan lalu banting setir dari pedagang sayuran keliling menjadi pengemudi motor gandeng.
Dia menggunakan sepeda motor Honda GL tahun 1980 yang dibelinya seharga Rp 2,5 juta. Dengan modal tambahan pembuatan kabin penumpang Rp 1,5 juta, Indra pun kini bisa melaju di kota kelahirannya untuk mencari penumpang.
"Penghasilannya lumayan. Dalam satu hari rata-rata saya mendapat penghasilan bersih Rp 25.000," kata Indra ketika ditemui di sebuah bengkel. Saat itu Indra tengah memasang variasi di kabin penumpang gandengnya agar penampilannya terlihat lebih menarik.
Penghasilan yang baik dengan nominal berbeda juga dikemukakan oleh sejumlah pengemudi motor gandeng yang biasa mangkal di ujung Jalan Gunung Dempo. Menurut mereka, penghasilan dari mengemudi motor gandeng jauh lebih baik dibandingkan hasil dari pekerjaan sebelumnya.
Seperti Sumardi, sebelumnya dia penarik becak dengan penghasilan rata-rata kurang dari Rp 25.000 per hari. "Enak narik motor gandeng, dapat uangnya lebih banyak dan tidak secapek narik becak," ungkapnya.
MOTOR gandeng terus melaju di jalan-jalan Pagar Alam. Perpaduan sepeda motor tua dan kabin penumpang yang dibuat di beberapa bengkel di kota itu telah melahirkan angkutan rakyat jenis baru yang murah meriah.
Soal kelaikan kendaraan, itu pun masalah nanti. Bagi para pengemudi, motor gandeng telah menjadi sumber nafkah menjanjikan yang bisa menopang hidup keluarga mereka. Sementara bagi penumpang, angkutan umum ini jauh lebih bermartabat.
Dibandingkan dengan ojek sepeda motor, motor gandeng tentu lebih nyaman ditumpangi. Penumpang pun tidak perlu bersentuhan fisik dengan tukang ojek dan mencium bau keringatnya. Kenyamanan naik motor gandeng juga lebih terasa saat panas terik atau hujan. Kabin penumpang menyelamatkan penumpang dari siksaan yang bakal muncul jika naik ojek sepeda motor.
Motor gandeng, motor becak, atau apa pun namanya, paling tidak telah mampu menjawab kebutuhan rakyat terhadap angkutan umum murah. Lapangan kerja baru juga tercipta. Bahkan, sepeda motor-sepeda motor tua yang seharusnya sudah masuk museum menjadi lebih berharga lagi di pasaran. (MUL)
silakan baca topik sejenis disini: Honda Passport Motorcycle
No comments:
Post a Comment